Tuesday 12 June 2012

Kesalahan Paradigma Pendidikan di Indonesia

 Siswa SMA di negeri kita “diharuskan” menjadi manusia super yang menguasai seluruh ilmu, baik sains, sosial dan juga bahasa. Ya, mereka memang mempelajarinya namun tidak banyak yang bisa mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Hal ini bisa dilihat dari lulusan SMA yang bisa dikatakan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja.
Kualitas pendidikan Indonesia dianggap masih rendah oleh banyak kalangan. Hal ini bisa dilihat dari  lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja. Menurut pengamat ekonomi, Dr. Berry Priyono, bekal kecapakapan yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak memadai untuk digunakan secara mandiri. Sebab yang dipelajari di lembaga pendidikan hanya terfokus pada teori sehingga mengakibatkan peserta didik kurang kreatif dan inovatif. Indikator rendahnya kualitas pendidikan Indonesia ini diperparah dengan data dari  Badan Pusat Statistik yang menyebutkan penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja berjumlah 111,28 juta penduduk dan 55,12 juta diantaranya adalah tamatan SD. Artinya 50 persen pekerja Indonesia adalah tamatan pendidikan dasar.
Jika dibangdingkan dengan Negara ASEAN, Singapura memiliki presentase kelulusan terbanyak di secondary sebanyak 24,6 persen dan lulusan pergurutan tinggi sebanyak 11,7  persen. Berdasarkan QS World Universities Ranking, ranking perguruan tinggi negeri kita juga kalah dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Kita berada di peringkat 50 Asia dan 217 Dunia. Kalah jauh dibanding Singapura yang memperoleh peringkat 3 (NUS) dan 58 (NTU). Di Asia tenggara perguruan tinggi kita kalah dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Indonesia juga menurun poinnya tahun ini di EDI (Education Development Index). Kemerosotan ini dipengaruhi oleh kualitas dan paradigm pendidikan di negeri kita.
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia diperparah lagi dengan isu kecurangan Ujian Nasional yang selalu diperbincangkan setiap tahun, sebab ini dapat menjadi tolak ukur jalannya system pendidikan Indonesia yang masih jauh dari keempurnaan. Penugasan anggota kepolisian guna memantau jalannya Ujian Nasional serta penggunaan kamera pemantau untuk mengawasi jalannya UN di sekolah-sekolah menjadi hal yang justru tidak pernah terjadi di negeri lain. Selain itu, Indonesia berada di urutan 12 se-Asia dibawah Vietnam dan Thailnad terkait kualitas system pendidikan yang dikaitkan dengan daya saing tenaga kerja pada 12 negara di Asia. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas lulusan sarjana  di negeri kita belum mampu di letakkan secara sejajar dengan negara-negara lain bahkan dengan Vietnam sekalipun. Kondisi ini menyebabkan bahwa ada ketidakpercayaan publik terhadap system dan kualitas pendidikan di Indonesia serta paradigma yang keliru terhadap pendidikan di negeri ini.
Pada tahun 1872, Jepang menerbitkan Fundamental code of education dimana ditegaskan komitmen dari masyarakat harus berpendidikan dan tidak boleh ada yang buta huruf. Pada tahu 1910 hampir seluruh anak muda Jepang sudah menyenyam pendidikan. Pada tahun 1913 mash banyak orang miskin, maka jepang kemudian menerbitkan lebih banyak buku. Penerbitan yang ada di Eroap dan Amerika dalam waktu satu minggu sudah harus ada di Jepang dan sudah diterjemahkan di Jepang untuk mempermudah masyarakat mempelejari ilmu tadi serta hal ini berdampak pada kemajuan ekonomi dan kesejahteraan social. Kita ingat pula ketika Jepang terkena bom atom, pertanyaan kaisar jepang saat itu bukan berapa banyak warga yang menjadi korban, tetapi berapa guru baik yang masih hidup.
Di Singapura, pemerintah memberikan fasilitas setiap tahun kepada kepala sekolah untuk mengadakan studi banding di luar negeri. Begitu laporan hasil diterima oleh menteri pendidikan Singapura, hasilnya langsung diteruskan ke parlemen untuk mendapat tindak lanjut. Malaysia pada awalnya meng-import guru-guru dari Indonesia karena tarifnya masih reatif murah, tetapi mahasiswanya langsung dalam jumlah besar melanjutkan ke luar negeri (Inggris dan USA) atas biaya negara. Pada waktu perang dunia kedua di Inggris, Sir Winston Churchill menekankan parlemen untuk menambah anggaran pendidikan negara tersebut. Selain itu kurikulum teknologi yang dipakai di Inggris, sudah diberika di Grade 1 (usia 5 tahun) sampai Grade 10, sudah pula diajarkan pola fikir untuk menjadikan anak didik di Inggris dapat mandiri/memiliki life skill sebagai dasar dari entrepreneur, sehingga lulus SMU tak tergantung lagi pada orangtua.
Contoh lainnya adalah Selandia Baru. Di negara ini memberlakukan sistem yang cukup menarik, siswa level SMA hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib, yakni Matematika dan Bahasa Inggris. Selebihnya adalah pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan cita-cita masing-masing. Bagi yang ingin menjadi dokter silahkan mengambil pelajaran Kimia dan Biologi, bagi penyuka Fisika dan Kimia akan diarahkan menjadi engineer, sedangkan pencinta ilmu ekonomi bisa mengambil Statistik dan Akuntansi. Sedangkan Siswa SMA di negeri kita “diharuskan” menjadi manusia super yang menguasai seluruh ilmu, baik sains, sosial dan juga bahasa. Ya, mereka memang mempelajarinya namun tidak banyak yang bisa mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Hal ini bisa dilihat dari lulusan SMA yang bisa dikatakan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja.
Dari beberapa contoh diatas, kita bisa menraik benang merah kesalahan paradigma pendidikan yang dipakai sekarang adalah, pertama: mempersiapkan anak didik yang “siap pakai”. Hal ini secara mendasar telah membentuk budaya Employye. Kita seharusnya mempersiapkan anak didik yang “siap memakai”. Kita sadar bahwa sebagai employye nasibnya ditentukan oleh orang lain, bukan menentukan nasib orang lain. Sasaran pendidikan dari paradigma SIAP PAKAI adalah keterampilan khusus seperti akuntan, hokum dan lainnya. Kemudian dengan kursus singkat yang diharapkan memimpin bebagai macam disiplin keilmuan, atau bermain diluar bidang keahliannya,. Kita lihat dampaknya sekarang, mismanajemen dalam birokrasi sebab tidak ada standar kompetensi sebagai Patoka untuk menjadi pimpinan.
Ini sejalan dengan penjelasan Bukhori Nasution, bahwa “untuk waktu yang mungkin tidak terlalu lama jepang bercita-cita agar di Negara tersebut tidak lag memiliki industri yang menghasilkan limbah berbahaya, semuanya akan di letakkan di luar jepang, dengan saham terbesar tetap dimiliki oleh jepang, dan mereka mempersiapkan anak bangsanya untuk menjadi pemikir atau bergerak dalam hal desain serta perdagangan, sedangkan pekerjaan dirty/kotor, dangerous/berbahaya pelaksanaannya serta difficult work akan diserahkan kepada orang lain di luar negaranya.” Dan ternyata China, Korea  dan Taiwan telah sejak awal menyadari serta mengikuti jejak jepang. ini indikasi bahwa mereka mempersiapkan anak bangsanya siap memakai dan siap mempekerjakan,
Kedua:Pemerintah dalam hal ini dianggap tdak pernah berbuat salah dan tidak boleh dianggap salah membuat keputusan merugikan rakyat seperti ujian dengan system multiple choices yang menyebabkan anak didik kurang mampu menganalisa, standar untuk lanjut pendidikan tergantung nilai NEM sehingga anak didik selalu mentok di ranah kognitifnya. Bukan itu saja, tapi konsep menghafal yang sudah menjadi konsep dasar pendidikan, learning by memorizing bukan dengan learning by doing sehingga menurut pakar pendidikan Bukhori Nasuiton, anak didik tidak mendapatkan haqqul yaqin.
Ketiga:Kekeliruan paradigma pendidikan kita yang lain adalah adanya standar Terdaftar, Diakui, Disamakan, yang ditentukan oleh pemerintah padahal terdapat sekolah swasta yang memiliki gedung yang lebih baik dari sekolah negeri namun sangat sulit mendapat status disamakan,sementara sekolah negeri dengan kondisi gedung yang memperihatinkan, langsung mendapatkan predikat disamakan. Selain itu, pendidikan harus mempergunakan buku paket hingga perpustakaan pun hanya di isi dengan buku paket akhirnya berdampak hilangnya budaya baca anak didik karena buku paket yang dibagikan sama dengan yang ada di perpustakaan.
Dan keempat: sistem pendidikan kita belum mampu mengakomodir perbedaan potensi dan kemampuan setiap individu anak bangsa ini. Seluruh kejanggalan yang sudah muncul di public maupun yang menunggu giliran menjadi indikasi bahwa tidak ada komitmen secara nasional untuk memperioritaskan pendidikan seperti di Jepang dan negara lain. Baru sejak tahun 2002 anggaran pedidikan mulai di naikkan untuk memenuhi amanat UU pendidikan nasional. Itupun masih menunggu optimalisasi pemerataan anggaran ke seluruh satuan pendidikan. Namun paling tidak, di masa mendatang, diharapkan kepada para pengambil kebijakan, guru dan stakeholder pendidikan lainnya seperti orang tua dan LSM, agar bisa fokus untuk memperbaiki kesalahan paradigma tentang pendidikan yang terjadi di negeri ini serta turunan masalahnya. agar nasib bangsa ini lebih baik dan bermartabat.

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment

PERLU UNTUK DI BUKA