Saturday 30 June 2012

Kemandirian Belajar ,Berpikir Kritis Tentang matemaika

Pengertian Kemandirian Belajar
Salah satu konsep kunci dari teori belajar konstruktivis adalah menganut visi atau wawasan siswa ideal sebagai seorang pebelajar yang memiliki kemampuan dan kemandirian belajar (self-regulated learning). Kemandirian belajar adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan itu. mempunyai kemandirian belajar berarti memiliki kemampuan untuk mengatur motivasi dirinya, tidak saja motivator eksternal tetapi juga motivator internal serta mereka mampu tetap menekuni tugas jangka panjang sampai tugas itu diselesaikan.

Kemandirian belajar mengacu pada cara spesifik pebelajar dalam mengontrol belajarnya. belajar itu sebagian besar dari pengaruh membangun pikiran sendiri, perasaan, strategi, dan perilaku pebelajar yang diorientasikan ke arah pencapaian tujuan belajar. Ada tiga tahap utama siklus kemandirian belajar, yaitu perencanaan belajar seseorang, monitoring kemajuan saat menerapkan rencana, dan mengevaluasi hasil dari rencana yang telah selesai diterapkan. Diagram berikut menunjukkan ketiga tahap siklus kemandirian belajar, bersama dengan refleksinya dapat digambarkan seperti berikut.

Tahap Perencanaan, pada tahap ini menetapkan langkah-langkah untuk belajar, yaitu
(1) Menganalisis tugas belajar,
(2) Menentukan tujuan belajar, dan
(3) Merencanakan strategi belajar.

Tahap Monitoring, pada tahap ini menerapkan rencana dengan terus-menerus dimonitor untuk meyakinkan mengarah ke tujuan belajar.

Tahap evaluasi, pada tahap ini menentukan seberapa baik strategi belajar yang dipilih dan bagaimana pencapaian tujuan belajar tersebut.

Sedangkan Refleksi, menyediakan hubungan-hubungan antara ketiga tahapan dalam memahami pelajaran (metakognitif pengetahuan). Sejalan dengan pendapat tersebut,

Rochester Institute of Technology mengidentifikasi beberapa karakteristik kemandirian belajar, yaitu memilih tujuan belajar, memandang kesulitan sebagai tantangan, memilih dan menggunakan sumber yang tersedia, bekerjasama dengan individu lain, membangun makna, memahami pencapaian keberhasilan tidak cukup hanya dengan usaha dan kemampuan saja namun harus disertai dengan kontrol diri.

Hargis (dalam Euis,2007)) mendefinisikan kemandirian belajar sebagai upaya memperdalam dan memanipulasi jaringan asosiatif dalam suatu bidang tertentu. Lebih lanjut Hargis menyatakan bahwa kemandirian belajar merupakan proses perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan tugas akademik. Dalam hal ini, kemandirian belajar itu sendiri bukan merupakan kemampuan mental atau keterampilan akademik tertentu seperti kefasihan membaca, namun merupakan proses pengarahan diri dalam mentransformasi kemampuan mental ke dalam keterampilan akademik tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, kemandirian belajar menurut Wolters, Pintrich, dan Karabenick (2003) adalah suatu proses aktif siswa dalam mengkonstruksi dan menetapkan tujuan belajarnya dan kemudian mencoba untuk memonitor, mengatur, dan mengontrol kognisi; motivasi; dan perilakunya berdasarkan tujuan belajar yang telah ditetapkan dalam konteks lingkungannya.

Perancangan dan pemantauan diri terhadap proses kognisi merupakan aktivitas kognisi individu untuk menyesuaikan dan mengubah kognisi berdasarkan informasi-informasi yang mengarah ke tujuan. Sebagai contoh, jika seorang siswa sedang belajar dengan tujuan dapat membuktikan sesuatu siswa tersebut harus merancang dan memantau proses kognisinya berdasarkan informasi–informasi yang diketahui (seperti premis, definisi, teorema yang telah dibuktikan, dan lain-lain) agar sukses dalam pembuktikan kebenaran suatu. Proses menghubungkan informasi-informasi yang diperlukan dalam pembuktian tersebut merupakan strategi kognisi.
Strategi kognisi ada tiga jenis, yaitu latihan (reheasal), pengembangan (elaboration), dan organisasi (organization). Strategi latihan meliputi usaha untuk menghafal material dengan cara mengulanginya. Strategi pengembangan mencoba untuk menghubungkan material yang satu dengan yang lainnya, meletakkan material ke dalam kata-kata sendiri. Strategi organisasi melibatkan penggunaan berbagai teknik seperti catatan kaki, menggambar, atau mengembangkan peta konsep untuk mengorganisir material.

Motivasi secara konsisten dipandang sebagai faktor penentu belajar dan prestasi siswa. Di sisi lain, bila siswa tidak mempunyai motivasi akan menimbulkan masalah bagi siswa. Belajar adalah suatu proses usaha untuk memperoleh kemampuan akademik yang penuh dengan hambatan-hambatan. Hambatan tersebut, dapat berbentuk kurangnya motivasi berprestasi siswa. Misalnya, siswa dibebankan dengan tugas yang banyak dalam belajar akan membosankan, apalagi kalau ditambah dengan tugas pekerjaan rumah dan tugas membaca materi di rumah. Untuk menghindari hambatan ini, membutuhkan kemampuan siswa untuk merancang dan memantau motivasi berprestasinya, yang dipandang sebagai suatu aspek penting dalam kemandirian belajar.

Pemantauan motivasi berprestasi sebagai aktivitas individu dimulai dari melakukan tindakan berinisiatif, melaksanakan, dan menyelesaikan aktivitas pembelajaran. Pemantauan ini dilakukan secara bebas tanpa ada campur tangan dari orang lain. Pengaturan motivasi berprestasi meliputi tindakan mempengaruhi alternatif pilihan, usaha, atau ketekunan terhadap tugas-tugas akademik. Walaupun berhubungan erat kaitannya, pemantauan motivasi berprestasi secara konseptual beda dengan motivasi berprestasi itu sendiri. Pemantauan motivasi berprestasi berhubungan dengan tindakan atau pikiran individu yang secara sadar dan sengaja dilakukan untuk mempengaruhi motivasi berprestasi mereka terhadap aktivitas pembelajaran.

Pemantauan tingkah laku adalah suatu aspek kemandirian yang melibatkan usaha individu untuk merancang dan memantau perilaku belajar mereka. Strategi pemantauan tingkah laku terkait dengan kesehatan perilaku belajar, hubungan sosial dengan orang yang lain, dan pengaturan waktu dan lingkungan belajar.

Lowry (dalam Euis,2007)) merangkum sejumlah saran dari beberapa penulis tentang memfasilitasi berkembangnya kemandirian belajar pada siswa, yaitu:
1.Membantu siswa mengidentifikasi titik awal untuk belajar dan mengembangkan bentuk ujian dan laporan yang relevan.
2.Mendorong siswa untuk memandang pengetahuan dan kebenaran secara kontekstual, memandang nilai kerangka kerja sebagai konstruk sosial, dan memahami bahwa mereka dapat bekerja secara perorangan atau dalam kelompok.
3.Menciptakan suasana kemitraan dengan siswa melalui negosiasi tujuan, strategi, dan kriteria evaluasi.
4.Jadilah seorang manajer belajar daripada sebagai penyampai informasi.
5.Membantu siswa menyusun kebutuhannya untuk merumuskan tujuan belajarnya.
6.Mendorong siswa menyusun tujuan yang dapat dicapai melalui berbagai cara dan menawarkan beberapa contoh performan yang berhasil.
7.Menyiapkan contoh-contoh pekerjaan yang sudah berhasil.
8.Meyakinkan siswa agar menyadari tujuan, strategi, sumber, dan kriteria evaluasi belajar yang telah ditetapkan.
9.Melatih siswa berinkuiri, mengambil keputusan, mengembangkan dan mengevaluasi diri.
10.Bertindak sebagai pembimbing dalam mencari sumber-sumber belajar.
11.Membantu menyesuaikan sumber belajar dengan kebutuhan siswa.
12.Membantu siswa mengembangkan sikap dan perasaan positif.
13.Memahami tipe personality dan jenis belajar siswa.
14.Menggunakan teknik pengalaman lapangan dan pemecahan masalah sebagai dasar pengalaman belajar orang dewasa.
15.Mengembangkan pedoman belajar yang berkualitas tinggi termasuk kiat belajar terprogram.

Karakteristik Kemandirian Belajar Matematika,
yaitu :
(1)Inisiatif belajar,
(2)Mendiagnosa kebutuhan belajar,
(3)Menetapkan tujuan belajar,
(4)Memonitor, mengatur, dan mengontrol belajar,
(5)Memandang kesulitan sebagai tantangan,
(6)Memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan,
(7)Memilih dan menerapkan strategi belajar yang tepat, dan
(8)Konsep diri.



1. Objek Matematika
Menurut Soedjadi (1995) bahwa salah satu karakteristik matematika adalah objek-objeknya yang abstrak. Objek-objek matematika yang abstrak tersebut menurut Gagne (dalam Ruseffendi, 1991) terbagi atas objek langsung dan objek tidak langsung. Objek tidak langsung antara lain adalah kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, bersikap mandiri (belajar, bekerja, dan lain-lain), bersikap positif terhadap matematika, tahu bagaimana mestinya belajar. Objek langsung adalah fakta, keterampilan, konsep dan aturan.

Dengan demikian jelas bahwa pada dasarnya yang dibahas dalam mempelajari matematika bukanlah benda konkret atau benda yang dapat dipegang atau diraba meskipun dimodelkan dari permasalahan nyata atau konkret. Oleh karena itu, pembelajaran matematika perlu disesuaikan dengan perkembangan intelektual peserta didik. Berdasarkan perkembangan intelektual peserta didik maka pembelajaran matematika tidak selalu mengikuti pola pemikiran deduktif, tetapi perlu juga diikuti dengan pola pemikiran induktif.

Matematika bukan hanya untuk keperluan kalkulasi, tetapi lebih dari itu matematika telah banyak digunakan untuk pengembangan berbagai ilmu dan pengetahuan. Hal ini ditegaskan oleh R. Soedjadi (1994:20) yaitu: "Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, baik aspek terapannya maupun aspek penalarannya, mempunyai peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi". Oleh karena itu matematika perlu dikuasai oleh segenap warga negara Indonesia dalam bentuk penerapannya maupun pola berpikirnya.

Untuk mewujudkan hal di atas, maka matematika diajarkan sebagai salah satu mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan. Matematika ini lebih dikenal sebagai matematika sekolah (school mathematics). Menurut R. Soedjadi (1992:28), "Matematika sekolah adalah unsur-unsur dan bagian-bagian matematika yang dipilih atas dasar:
(1) Makna kependidikan yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian peserta didik;
(2) Tuntutan perkembangan yang nyata dari lingkungan hidup yang senantiasa berkembang seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi".

Sesuai dengan pengertian "matematika sekolah" yang didefinisikan di atas, maka tujuan pengajaran matematika sekolah diupayakan tidak hanya trampil menggunakan matematika, tetapi juga harus meliputi aspek kognitif dan afektif. Hal ini ditegaskan oleh Soedjadi (1991:3) yaitu :
Tujuan diajarkan matematika di setiap jenjang pendidikan pada dasarnya mengacu pada :
1. Tujuan yang bersifat Formal; yaitu tujuan yang menekankan kepada :
(1) penataan nalar anak dan
(2) pembentukan sikap anak.
2. Tujuan yang bersifat materil; yaitu tujuan yang menekankan kepada
(1) keterampilan hitung,
(2) menyelesaikan soal dan
(3) penerapan matematika.

2. Matematika yang Bermakna dan Menyenangkan
Pada hakikatnya, belajar dan mengajar matematika membutuhkan berbagai aktivitas bahasa, seperti membaca, mendengar, menulis, merepresentasi, dan berdiskusi. Fungsi bahasa dalam konteks kelas matematika adalah bahwa bahasa telah terbukti sepanjang masa untuk mengembangkan gagasan-gagasan. Bahasa disajikan sebagai suatu makna representasi & makna komunikasi. Pendidik matematika menyebutnya “mathematics an exstension of language” (Weinzweig, 1982).

Jacobs (1982) menyatakan bahwa apabila pembelajaran matematika terfokus pada menghafalkan istilah-istilah daripada mengkomunikasikan ide-ide matematika, maka siswa banyak mengalami kesulitan sehingga perlu diperkenalkan lebih dini secara tepat. Karena bagi siswa, matematika pada dasarnya merupakan “bahasa asing”. Namun demikian, matematika dapat digunakan untuk berkomunikasi dimana saja kita berada, bahasa pengantar apa saja yang kita gunakan dalam pembelajaran, sehingga tepat kalau matematika disebut “the universal language” .

Siswa lebih suka membangun pengetahuan matematika melalui berbagai aktivitas, siswa mengalami dan memaknai sendiri apa yang terjadi dalam pembelajaran di kelas.
Sisi lain yang cukup unik, siswa sangat menyukai aktivitas belajar secara berkelompok, guru menyajikan masalah matematika yang merangsang minat siswa untuk bertanya, kemudian siswa mendiskusikan solusinya.

Situasi pembelajaran ini sangat relevan dengan konsep belajar matematika sebagai aktivitas sosial. Schoenfeld (1992), menyatakan bahwa belajar matematika merupakan sifat suatu aktivitas sosial. Naasnya, pembelajaran komunikasi konvensional dengan satu arah, mengabaikan sifat sosial dari belajar matematika, juga mengganggu perkembangan matematika siswa. Rancanglah strategi pembelajaran secara berkelompok, sehingga siswa mampu berkomunikasi dengan sesama temannya untuk membangun pengetahuan dari aktivitas belajar berkelompok. Manfaat besar dari aktivitas belajar secara berkelompok akan membantu siswa mengembangkan pengetahuan matematika, mengembangkan kemampuan pemecahan masalah & penalaran, meningkatkan kepercayaan diri siswa (Johnson & Johnson, 1989), serta memberdayakan keterampilan sosial & keterampilan komunikasi (Noddings, 1985).

Prinsip Pembelajaran Matematika Versi Robyn Anderson
Mau pembelajaran matematika Anda lebih bermakna? Tampaknya, 3 prinsip seorang Executive di Queensland Association of Mathematics Teachers ini bisa jadi salah satu rujukan desain pembelajaran Anda di kelas.

Pertama, connecting students to mathematics. Apa ya maksudnya? Kita membutuhkan proses untuk menghubungkan siswa dalam konteks nyata keseharian mereka. Kita juga harus membangun pemahaman matematika siswa dengan sesuatu yang berada di sekeliling mereka. Mengapa tidak jika kita coba memulai pembelajaran dengan pertanyaan-pertanyaan yang memancing minat siswa seperti, “Coba sebutkan benda-benda di sekitar yang berbentuk segiempat, lingkaran, segitiga, atau bentuk geometri lainnya?”. Atau kita memulai pembelajaran materi statistika dengan mengajak siswa menghitung jumlah sepeda motor, sepeda, mobil yang di parkir di halaman sekolah. Pasti sangat menarik untuk dicoba.

Kedua, believing that all students can learn mathematics. Pernah mendengar filosofi sukses “You are what you think”? Bagaimana Anda bisa sukses mengajari siswa Anda belajar matematika, jika Anda sendiri sebagai guru meragukan kemampuan matematika siswa Anda. Menyajikan matematika dengan mempertimbangkan kesiapan & kematangan belajar siswa, serta menghubungkannya dengan kehidupan mereka, itu adalah langkah penting memotivasi sikap positif siswa terhadap matematika, selanjutnya mereka akan percaya bahwa mereka mampu belajar matematika.

Ketiga, focusing on students’ mathematical learning. Bagaimana caranya supaya pembelajaran matematika dapat berfokus pada siswa? Strategi pembelajaran harus mampu menciptakan lingkungan belajar di kelas yang berpusat pada siswa, mengembangkan pembelajaran berbasis konstruktivis (siswa membangun pengetahuan sendiri), siswa bekerja dalam kelompok, dan guru harus memfasilitasi diskusi matematika di antara siswa.

3. Metapora dalam Matematika
Metafora dalam Pembelajaran Matematika. Banyak faktor sukses dapat menentukan keberhasilan belajar matematika siswa, cara penyajian materi salah satunya. Apakah cara penyajian materi dapat membuat siswa tertarik, kemudian termotivasi untuk belajar matematika. Ataukah siswa akan merasa jenuh dan menghindari matematika?
Dari cerita seorang teman... Dalam paper Robyn Anderson, dia menemukan “harta karun”. “Harta Karun” tersebut berbunyi, “Clark (2007) found that stories and literature are particularly rich stimulus to promote mathematical discussion, and when students were asked to provide written reflection about a range of mathematical concepts that were made more accessible and memorable as a result of reading stories”.

Apa yang bisa saya refleksikan dari kata “harta karun” tersebut? AHA...METAFORA...Inspirasi ini yang pernah saya bawa dalam pengalaman mengajar saya.

Metafora yang dimaksud dalam kajian saya ini adalah memaparkan cerita tentang hakikat kesuksesan, perumpamaan-perumpamaan mengenai suatu bentuk kehidupan yang notabene akan mereka hadapi kelak, simulasi, ataupun kisah-kisah berbagai orang sukses dalam hidupnya, serta legenda-legenda lainnya. Diharapkan nantinya, setelah pembelajaran selesai, setiap siswa sebagai pembelajar memiliki wawasan lebih tentang kehidupan nyata yang akan mereka songsong, sehingga motivasi mereka untuk lebih sungguh-sungguh belajar dapat ditingkatkan.

Tujuan utama penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika adalah untuk mendongkrat minat dan motivasi siswa dalam belajar, bukan hanya belajar matematika, tetapi belajar nilai-nilai kehidupan. Saya membiasakan diri mengawali pembelajaran dengan cerita kehidupan & motivasi yang saya pelajari dari berbagai literatur, menghubungkan matematika dengan nilai-nilai kehidupan, dan melakukan simulasi matematika yang menantang kemampuan berpikir siswa.

Sebenarnya sangat banyak metafora yang dapat digunakan atau disampaikan dalam setiap pembelajaran. Misalnya:
1) bercerita dengan menggunakan perumpamaan untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya pembelajaran tersebut,
2) bercerita dengan perumpamaan, bahwa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan pada hakikatnya adalah diri sendiri,
3) memberikan penjelasan bagaimana kiat meraih sukses dalam pembelajaran dan kehidupan,
4) menyajikan paparan bahwa orang belajar harus siap keluar dari ‘zona nyaman’,
5) mendiskusikan mengapa hingga saat ini kualitas pendidikan Indonesia masih terpuruk,
6) mengisahkan tentang beberapa tokoh terkenal seperti Albert Einstein, J.K. Rowling, Syaikh Ahmad Yassin, Jacky Chan, David Beckham, Michael Jordan, Thomas Alva Edison, Jalaluddin Rumy, Umar Khayyam, Iwan Fals, dan sebagainya,
7) memberikan beberapa nasihat dan tips-tips untuk meraih keberhasilan,
8) melakukan simulasi matematika yang menantang kemampuan berpikir siswa.

Metafora menggugah motivasi siswa untuk belajar matematika, memberdayakan potensi mereka untuk menjawab tantangan dalam simulasi matematika, dan yang paling penting menjelajahi nilai-nilai kehidupan yang mengisnpirasi mereka untuk melakukan upaya terbaik dalam hidupnya.
Puzzle session, inilah drama paling menarik yang banyak dinanti para siswa ketika belajar matematika di kelas dengan skenario “metafora”.

4. Image Matematika
Menakutkan, kesan itu masih melekat cukup kuat di benak sebagian besar siswa kita terhadap pelajaran & pembelajaran matematika. Ingin coba membantah fakta ini? Lakukan pembelajaran matematika dengan paradigma baru yang lebih bermakna & menyenangkan.

Berpikir Kritis dapat diasumsikan sebagai proses kognisi dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Berpikir merupakan kapabilitas atau kemampuan yang dapat dipelajari. Fisher (dalam Euis,2007)) mendeskripsikan bahwa paling sedikit tiga aspek penting keterampilan berpikir, yaitu berpikir kritis, berpikir kreatif, dan problem solving. Ketiga aspek tersebut saling berkomplementer tetapi saling berhubungan. Problem solving perlu penemuan masalah dan pertanyaan-pertanyaan untuk menyelidiki (berpikir kreatif) dan mengevaluasi solusi yang diusulkan (berpikir kritis). Bepikir kritis perlu mengorganisasi keterampilan berpikir seseorang ke dalam suatu kombinasi sebagai alat kerja (berpikir kreatif). Pada akhirnya berpikir kreatif perlu berpikir kritis. Problem solving mungkin berupa penyelidikan kreatif, yaitu berhubungan dengan penyelidikan untuk menemukan solusi masalah-masalah open-ended, menggunakan berpikir divergen dalam menyelesaikan masalah, dan lain-lain.

Dalam usaha meningkatkan kemampuan berpikir kritis, maka harus memperhatikan fase-fase kemampuan berpikir kritis. Selanjutnya akan diuraikan fase-fase kemampuan berpikir kritis menurut beberapa ahli.

Brookfield (dalam Euis,2007)) mengidentifikasi lima fase berpikir kritis, yaitu: (1) Trigger event (cepat tanggap terhadap peristiwa), yaitu pengenalan suatu peristiwa tak terduga yang mengakibatkan terjadinya konflik kognisi internal, (2) Appraisal (penaksiran), yaitu menilai situasi dan mulai bekerja secara teliti, menghadapi peristiwa tak terduga dengan berbagai cara, mengklarifikasi dan mengidentifikasi perhatian orang lain dalam menghadapi situasi serupa. (3) Exporation (eksplorasi), yaitu mencari makna ke resolusi, atau cara dalam menjelaskan pertentangan untuk mengurangi konflik kognisi, mendorong seseorang untuk mencari maksud/arti, menyelidiki cara pikir dan bertindak, (4) Development alternative perspective (mengembangkan alternatif perspektif), yaitu mengembangkan cara pikir baru yang membantu seseorang menyesuaikan kepada peristiwa yang tidak diharapkan. Transisi ini melibatkan suatu usaha untuk mengurangi ketidaksesuaian dalam hidup seseorang, dan (5) Integration (integrasi), yaitu menegosiasikan perspektif baru untuk menfasilitasi integrasi perubahan hidup seseorang, melibatkan pengintegrasian konflik kognisi secara internal atau eksternal untuk mencapai suatu resolusi.

Norris dan Ennis (dalam Euis,2007)) mengidentifikasi lima fase berpikir kritis, yaitu: (1) Elemetary clarification (klarifikasi tingkat rendah), yaitu memusatkan pencapaian klarifikasi umum suatu masalah melalui analis argumentasi, pertanyaan, atau jawaban, (2) Basic support (pendukung dasar), yaitu memutuskan sumber yang kredibel, membuat dan memutuskan hasil pengamatan sendiri; melibatkan informasi yang berbeda, kesimpulan yang diterima, dan latar belakang pengetahuan. (3) Inference (kesimpulan), yaitu membuat dan memutuskan kesimpulan secara induktif dan deduktif, (4) Advanced clarification (klarifikasi tingkat tinggi), yaitu membentuk dan mendefinisikan terminologi, memutuskan dan mengevaluasi definisi, menentukan konteks definisi berdasarkan alas an yang tepat, dan (5) Strategi and tactics (strategi dan cara-cara), yaitu berinteraksi dengan orang lain untuk memutuskan tindakan yang sesuai; mendefinisikan masalah, menaksir kemungkinan solusi dan mengkonstruksi alternative solusi; monitoring keseluruhan proses pengambilan keputusan.

Bullen (dalam Euis,2007)) mengidentifikasi empat fase berpikir kritis, yaitu: (1) Clarification (klarifikasi), yaitu menilai/memahami sifat alami pada poin-poin pandangan yang berbeda pada isu, dilema, atau masalah. (2) Assessing evidence (menilai fakta), yaitu memutuskan kredibilitas sumber, menaksir bukti untuk mendukung kesimpulan; menetapkan dasar menarik kesimpulan. (3) Making and judging inference (membuat dan menarik kesimpulan), yaitu menduga secara induktif dan deduktif, dan menilai keputusan; pengambilan keputusan dengan pertimbangan bukti yang cukup untuk mendukung argumentasi, dan (4) Using appropriate strategies and tactics (menggunakan strategi dan cara-cara yang tepat), yaitu menggunakan heuristik atau strategi untuk mengarahkan pikiran dalam proses pencapai kesimpulan, membuat suatu keputusan, atau pemecahan suatu masalah secara efektif.

Garnisun, Anderson, dan Archer (dalam Euis,2007)) membagi empat fase berpikir kritis, yaitu: (1) Trigger event (cepat tanggap terhadap peristiwa), yaitu mengidentifikasi atau mengenali suatu isu, masalah, dilemma dari pengalaman seseorang, yang diucapkan instruktur, atau pelajar lain, (2) Exporation (eksplorasi), memikirkan ide personal dan sosial dalam rangka membuat persiapan keputusan, (3) Integration (integrasi), yaitu mengkonstruksi maksud/arti dari gagasan, dan mengintegrasikan informasi relevan yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya, dan (4) Resolution (mengulangi penyelesaian), yaitu mengusulkan solusi secara hipotetis, atau menerapkan solusi secara langsung kepada isu, dilema, atau masalah serta menguji gagasan dan hipotesis.

Berdasarkan fase-fase berpikir kritis yang di kemukakan oleh ahli tersebut, terlihat bahwa pada fase pertama memiliki kesamaan arti walaupun menggunakan istilah yang berbeda, trigger event (Broofield ; Garnisun, Anderson, dan Archer), dan klarifikasi (Norris dan Ennis, Bullen). Pada prinsipnya fase ini merupakan proses memahami suatu isu, masalah, dilemma dari berbagai sumber. Pada fase kedua, memiliki kesamaan arti walaupun menggunakan istilah yang berbeda, yaitu appraisal (Broofield), klarifikasi dasar (Norris dan Ennis), assessing evidence (Bullen), dan eksplorasi (Garnisun, Anderson, Archer). Pada prinsipnya fase ini merupakan proses merencanakan solusi suatu isu, masalah, dilemma dari berbagai sumber. Pada fase ketiga eksplorasi (Broofield), menarik kesimpulan (Norris dan Ennis), fase keempat menarik kesimpulan (Bullen), dan integrasi (Garnisun, Anderson, Archer) memiliki arti yang sama, yaitu menerapkan rencana yang telah dikonstruksi pada fase sebelumnya. Dalam menerapkan rencana, tidak cukup dengan menemukan solusi tetapi pengembangan soludi lebih mendalam seperti fase keempat mengembangkan alternative perspektif (Broofield) dan klarifikasi tingkat tinggi (Norris dan Ennis). Selanjutnya fase kelima intergrasi (Broofield), strategi dan cara-cara (Norris dan Ennis; Bullen), dan resolusi (Garnisun, Anderson, Archer) memiliki arti yang sama, yaitu memeriksa kembali solusi yang telah dikerjakan, termasuk mengembangkan strategi alternatif solusi lainnya.

Berpikir kritis dalam belajar matematika merupakan suatu proses kognitif atau tindakan mental dalam usaha memperoleh pengetahuan matematika berdasarkan penalaran matematika. Penalaran matematika Sumarmo (dalam Euis,2007)) meliputi menarik kesimpulan logis; memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematika; menarik analogi dan generalisasi; menyusun dan menguji konjektur; memberikan lawan contoh (counter example); mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argumen; menyusun argumen yang valid; menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan menggunakan induksi matematika.

Berpikir kritis matematik meliputi kemampuan untuk bereaksi terhadap masalah matematika dengan membedakan pendapat dan fakta, kesimpulan dan pertimbangan, argumentasi induktif dan deduktif, serta objektif dan subjektif. Selanjutnya kemampuan untuk membuat pertanyaan, mengkonstruksi dan mengenali struktur argumentasi, alasan-alasan yang mendukung argumentasi; mendefinisikan, menganalisis, dan memikirkan solusi permasalahan; menyederhanakan, mengorganisasi, mengklasifikasi, menghubungkan, dan menganalisis masalah matematika; mengintegrasikan informasi dan melihat hubungannya untuk menarik kesimpulan; selanjutnya memeriksa kelayakan kesimpulan, menerapkan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh ke permasalahan matematika yang baru.

Dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis, membutuh strategi-trategi tertentu. Fisher (dalam Euis,2007)) menguraikan tiga jenis strategi berpikir kritis yang saling bergantung, yaitu (1) Strategi afektif adalah kemampuan untuk berpikir bebas dari yang lain. Ini termasuk mengambil pandangan orang lain; (2) Kemampuan makro adalah kemampuan untuk memanfaatkan, dan mempunyai pemahaman mekanis atau ketrampilan lain yang sedang digunakan untuk sembarang tugas, dan (3) Keterampilan mikro adalah menekankan belajar bagaimana cara untuk bertanya, kapan untuk bertanya, dan apa yang akan ditanyakan ; dan belajar bagaimana cara memberi alasan, kapan untuk memberikan alasan, apa metoda yang digunakan.

Selanjutnya Fisher menekankan pada indikator keterampilan berpikir kritis yang penting meliputi:
a. Mengatakan kebenaran pertanyaan/pernyataan
b. Menganalisis pertanyaan/pernyataan
c. Berpikir logis
d. Mengurutkan, misalnya secara temporal, secara logis, secara sebab-akibat
e. Mengklasifikasi, misalnya gagasan-gagasan, objek-objek
f. Memutuskan, misalnya apakah cukup bukti
g. Memprediksi (termasuk membenarkan prediksi)
h. Berteori
i. Memahami orang lain dan dirinya

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri atas lima fase, yaitu memicu kejadian (Trigger event), eksplorasi, menarik kesimpulan, klarifikasi, dan resolusi. Trigger event, yaitu kemampuan mengidentifikasi kelengkapan premis suatu pernyataan, konsep-konsep yang dibutuhkan dalam membuktikan suatu pernyataan. Eksplorasi, yaitu kemampuan mengkonstruksi makna/arti, menyelidiki ide matematika. Menarik kesimpulan yaitu kemampuan membuat dan memutuskan ide matematika secara induktif atau deduktif. Klarifikasi, yaitu kemampuan mengevaluasi dan menjelaskan, menentukan konteks ide matematik. Resolusi, yaitu kemampuan mengusulkan/memperbaiki langkah-langkah bukti suatu pernyataan matematika.
Kemampuan berpikir kritis dapat terlatih bila kemampuan itu diterapkan dalam situasi diskusi di kelas yang membahas konsep matematika tertentu. Dalam diskusi tersebut antar siswa beradu argumentasi secara rasional. Jika dalam proses pembelajaran seorang guru selalu berupaya melatih siswanya untuk berpikir kritis maka out-put pembelajaran menghasilkan siswa-siswa pemikir kritis yang baik. Baked (2004) mengemukakan lima komponen dalam berpikir kritis yang baik, yaitu (1) Skillful (terampil), menerapkan ketrampilan dalam bentuk proses berpikir, (2) Responsible (dapat dipertanggungjawabkan), berpikir kritis merupakan tindakan publik, bukan tindakan pribadi. Argumentasi yang dikemukakan berperan untuk suatu diskursus, (3) Berdasarkan kriteria untuk membuat keputusan, seorang pemikir kritis yang baik berpikir dengan tegas mengapa dia menarik kesimpulannya dan memeriksa penalaran untuk kesimpulannya. Dengan demikian seorang pemikir kritis tidak hanya melihat apa yang dipertimbangkan tetapi ia juga melihat mengapa kita mengambil kesimpulan tersebut, (4) Mengembangkan presentasi yang sensitif ke konteks, respek terhadap cara-cara di dalam bidang tertentu dan disesuaikan dengan kesimpulan di dalam bidang tersebut, dan (5) Self-correcting (koreksi diri), seorang pemikir kritis yang baik secara konstan berusaha untuk meningkatkan berpikirnya, seperti memonitor proses berpikir, menggunakan umpan balik, dan internalisasi kemampuan kritik.

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment

PERLU UNTUK DI BUKA