BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belajar merupakan akibat adanya interaksi
antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu
jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini,
dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output
yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pembelajar
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang
terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan
karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati
adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pembelajar (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran,
sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.[1]
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/ dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.[2]
Memasuki abad ke-19 beberapa ahli mengadakan penelitian eksperimental tentang teori
belajar, walaupun pada waktu itu para ahli menggunakan binatang sebagai
objek penelitiannya. Penggunaan binatang sebagai objek penelitian
didasarkan pada pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya
dianggap rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah
dapat dipastikan bahwa eksperimen itupun dapat berlaku bahkan dapat
lebih berhasil pada manusia, karena manusia lebih cerdas daripada
binatang.[3]
Menurut Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang itu untuk belajar antara lain sebagai berikut:
1. Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
2. Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
3. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman;
4. Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi;
5. Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman;
6. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar. [4]
Berlatarbelakang masalah tersebut di atas, maka makalah ini kami beri judul “Macam-Macam Teori Belajar Dan Pandangannya Terhadap Perkembangan Tingkah Laku Manusia”
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang kami angkat dalam makalah ini adalah :
1. Apa saja teori belajar berdasarkan kelompoknya itu ?
2. Bagaimana pandangan teori belajar tersebut terhadap perkembangan tingkah laku manusia ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui :
1. Macam-macam teori belajar berdasarkan kelompoknya
2. Pandangan teori belajar terhadap perkembangan tingkah laku manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Macam-macam teori belajar berdasarkan kelompok
Dari berbagai tulisan yang membahas tentang perkembangan
teori belajar seperti (Atkinson, dkk. 1997; Gledler Margaret Bell,
1986) memaparkan tentang teori belajar yang secara umum dapat
dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran meliputi:
1. ALIRAN BEHAVIORISTIK (Tingkah Laku)
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku (behavioristik),
tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain, belajar
adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara
stimulus dan respon. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini
antara lain; Thorndike, (1911); Wathson, (1963); Hull, (1943); dan
Skinner, (1968).[5]
a). Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri
aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
(yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons ( yang
juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh
berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret
(tidak bias diamati). Teori Thorndike disebut sebagai “aliran
koneksionis” (connectionism).[6]
Menurut teori trial and error (mencoba-coba
dan gagal) ini, setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi baru
akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi
buta. Jika dalam usaha mencoba itu kemudian secara kebetulan ada
perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang
cocok itu kemudian “dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka
waktu yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin
lama makin efisien. Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui
proses:
1). Trial and error (mencobva-coba dan mengalami kegagalan), dan
2). Law of effect, yang
berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang
memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari
dengan sebaik-baknya.[7]
b). Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati”(observable).
Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang
mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang
tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi
dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi
faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar
sudah terjadi atau belum.[8]
c). Clark Hull
Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium.[9]
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya Incentive motivation (motivasi insentif) dan Drive reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah.[10]
Penggunaan praktis teori belajar dari Hull ini untuk kegiatan dalam kelas, adalah sebagai berikut:
1). Teori belajar didasarkan pada Drive-reduction atau drive stimulus reduction.
2). Intruksional obyektif harus dirumuskan secara spesifik dan jelas.
3). Ruangan kelas harus dimulai dari yang sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar.
4). Pelajaran harus dimulai dari yang sederhana/ mudah menuju kepada yang lebih kompleks/ sulit.
5). Kecemasan harus ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar.
6). Latihan
harus didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi.
Dengan perkataan lain, kelelahan tidak boleh menggangu belajar.
7). Urutan
mata pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang
terdahulu tidak menghambat tetapi justru harus menjadi perangsang yang
mendorong belajar pada mata pelajaran berikutnya.[11]
d). Edwin Guthrie
Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman” memegang
peran penting dalam belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan
pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai
contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang sekolah, selalu
mencampakkan baju dan topinya di lantai.
Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali oleh
anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil
menggantungkan topi dan bajunya di tempat
gantungan. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung
topi dan baju menjadi terisolasi dengan stimulus memasuki rumah.
Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama Skinner makin mempopulerkan ide tentang “penguatan” (reinforcement).
e). Skinner
Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkn teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti Teaching machine, Mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan factor penguat (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori skinner.[12]
Prinsip belajar Skinner adalah :
1). Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
2). Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
3). Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
4). Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
5). Dalam pembelajaran digunakan shapping. [13]
2. ALIRAN KOGNITIF
a). Piaget
Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni 1). Asimilasi, 2). Akomodasi, dan 3). Equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuain berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. [14]
b). Ausubel
Ausubel percaya bahwa “advance organizer” dapat memberikan tiga manfaat;
1). Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2). Dapat berfungsi sebagai jembatan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa, sedemikian rupa sehingga;
3). Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.[15]
c). Bruner
Menurut pandangan Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya, teori penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara mengajarkan penjumlahan.[16]
3. ALIRAN HUMANISTIK
a). Bloon dan Krathowl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathowl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut;
1). Kognitif
Kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu :
i). Pengetahuan (mengingat, menghafal)
ii). Pemahaman(menginterprestasikan)
iii). Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
iv). Analisis (menjabarkan suatu konsep)
v). Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
vi). Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya)
2). Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
i). Peniruan (menirukan gerak).
ii). Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak).
iii). Ketepatan (melakukan gerak dengan benar).
iv). Perangkaian (beberapa gerakan sekaligus dengan benar).
v). Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
3). Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan;
i). Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
ii). Merespons (aktif berpartisipasi)
iii). Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai nilai tertentu)
iv). Pengorganisasisan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
v). Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagi bagian dari pola hidup).[17]
b). Kolb
Sementara itu, seorang ahli yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu;
1). Pengalaman konkret
2). Pengamatan aktif dan reflektif
3). Konseptualisasi
4). Ekperimen aktif
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu
mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha
memikirkan dan memahaminya.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang suatu hal yang diamatinya.
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum kesituasi yang baru.[18]
c). Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka ada empat macam atau tipe siswa, yaitu;
1). Aktivis
2). Reflector
3). Teoris, dan
4). Pragmatis[19]
d). Habermas
Ahli psikologi lain adalah Habermas yang dalam
pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik
dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu;
1). Belajar teknis (technical learning)
2). Belajar praktis (practical learning)
3). Belajar emansipatoris (emancipatory learning).[20]
4. ALIRAN SIBERNETIK
a). Landa
Landa merupakan salah seorang ahli psikologi
yang beraliran sibernetik. Menurut Landa, ada dua macam proses berfikir.
Pertama, disebut proses berfikir algoritmik, yaitu berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke suatu target tertentu. Jenis kedua, adalah cara berpikir heuristic, yakni cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target sekaligus.[21]
b). Pask dan Scott
Ahli lain adalah pemikirannya beraliran sibernetik adalah pask dan Scott. Pendekatan serialis yang diusulkan oleh Pask dan Scott sama dengan pendekatan algoritmik. Namun, cara berpikir menyeluruh (wholoist) tidak sama dengan heuristik. Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detail-detail yang kita amati lebih dahulu, tetapi seluruh lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih kecil.[22]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perkembangan teori belajar secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran meliputi:
a. Aliran Behavioristik (Tingkah Laku)
b. Aliran Kognitif
c. Aliran Humanistik
d. Aliran Sibernetik
2. Pandangan teori belajar menurut aliran Behavioristik (Tingkah Laku) adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Menurut aliran Kognitif adalah proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni asimilasi, akomodasi dan equilibrasi (penyeimbangan) menurut Piaget. Menurut aliran Humanistik adalah apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, tercakup dalam tiga kawasan yaitu kognitif, psikomotor, afektif menurut Bloom dan Krathowl. Menurut aliran Sibernetik adalah ada dua macam proses berfikir yaitu berfikir algoritmik, yaitu berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke suatu target tertentu, berpikir heuristic, yakni cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target sekaligus, menurut Landa.
B. Saran
Dengan mengetahui macam-macam teori belajar dan pandangan terhadap
tingkahlaku manusia diharapkan agar guru dan siswa dapat menerapkan
teori tersebut sesuai dengan kemampuan, situasi dan kondisi lingkungan
belajar, sehingga tercipta kenyamanan dan keberhasilan dalam proses
pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990.
R.E, Slavin,.. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon. 2000.
Uno, B. Hamzah, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2005.
http://alkohol7.wordpress.com/2008/11/21/makalah-psikopen-teori-belajar/
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik.
http://www.freewebs.com/hijrahsaputra/catatan/TEORI%20BELAJAR%20DAN%20PEMBELAJARAN.htm.
[1] Slavin, R.E.. Educational Psychology: Theory and Practice. (Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon 2000), 143
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
[3] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,(Jakarta: PT. Bumi Aksara), 6.
[4]http://www.freewebs.com/hijrahsaputra/catatan/TEORI%20BELAJAR%20DAN%20PEMBELAJARAN.htm
[5] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru …., 7.
[6] Ibid., 7.
[7] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990), 98 – 99.
No comments:
Post a Comment